Stylo Indonesia - Tren skincare yang terjadi dalam beberapa tahun ke belakang ini tak terjadi di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia.
Semakin banyak orang menyadari bahwa merawat kesehatan kulit lebih penting dilakukan sebelum terjun ke produk-produk makeup.
Hal ini tentunya membuat semakin banyak produk dan brand skincare yang diluncurkan, yang selalu berhasil menarik minat pengguna skincare.
Tren skincare yang kian meningkat memiliki dampak yang mungkin tak disadari banyak orang, yaitu meningkatnya sampah kemasan skincare.
Dilansir dari Teen Vogue, dewasa ini mulai muncul brand skincare yang menerapkan konsep sustainable beauty sebagai solusinya. Apa itu sustainable beauty?
Industri kecantikan sangat berpengaruh terhadap lingkungan dengan menyumbang 120 miliar unit kemasan per tahun.
Dalam proses pengirimannya, industri kecantikan menyumbang lebih dari 1 miliar ton CO2.
Baca Juga: Garnier Green Beauty Jadi Langkah Perubahan untuk Bumi yang Lebih Baik
Kini semakin banyak brand kecantikan yang mencari cara untuk mengurangi dampak yang mereka sebabkan pada dunia saat mereka membuat produk.
Klaim brand kecantikan menjadi lebih banyak, tidak hanya berjanji untuk melembapkan atau mengatasi masalah jerawat saja, kini banyak di antaranya memiliki label cruelty-free, vegan, dan sustainable.
Apa yang dimaksud dengan sustainable beauty?
Ada banyak standar berbeda tentang apa itu sustainable beauty, dan ratusan label ramah lingkungan di seluruh dunia, dengan 66 yang relevan dengan produk kosmetik dan perawatan pribadi.
Brand yang benar-benar sustainable seringkali menargetkan 4 label ramah lingkungan: dapat didaur ulang, cruelty free dengan logo Leaping Bunny, sertifikasi untuk praktik bisnis yang baik (seperti Fair Trade), dan bahan-bahan organik.
Untuk mendapatkan label organik resmi secara khusus, brand harus mematuhi pedoman ketat yang ada.
Perbedaan produk alami, organik, dan clean beauty
Tidak ada definisi resmi tentang produk "organik", dan apa yang disebut produk "alami" belum tentu lebih baik untuk kulit pemakainya.
Beberapa bahan kosmetik alami masih dapat menimbulkan reaksi buruk bagi orang dengan jenis kulit tertentu.
Menurut Food and Drug Administration, kosmetik berlabel "organik" harus mematuhi peraturan USDA dan FDA.
Misalnya, sebuah produk harus terdiri dari setidaknya 95% bahan organik untuk memiliki label organik USDA.
Itulah mengapa brand yang mengaku organik seringkali tidak memiliki label, meski sudah menggunakan 75% bahan organik tetapi belum bisa diizinkan untuk menggunakan logo resmi.
Brand yang vegan juga belum tentu sudah memiliki praktik ketenagakerjaan yang etis atau rantai pasokan yang transparan dan berkelanjutan.
Masalah kemasan
Mendaur ulang kemasan produk kecantikan cukup rumit.
Produk kecantikan yang masih tersisa sebagian tidak boleh dibuang ke tempat sampah, karena produk sisa dalam wadah dapat mengkontaminasi proses daur ulang sampah.
Kebanyakan pompa atau pump yang digunakan pada banyak produk kecantikan tidak dapat didaur ulang.
Pump terdiri dari beberapa bagian berbeda, jadi harus dibongkar seluruhnya untuk didaur ulang.
Aplikator juga tidak dapat didaur ulang. Namun, wand maskara bisa disumbangkan setelah dicuci, untuk digunakan dalam upaya penyelamatan satwa liar.
Brush makeup umumnya tidak dapat didaur ulang, meskipun sudah terbuat dari bahan yang ramah lingkungan.
Warna dari wadah plastik atau kaca juga berpengaruh dalam proses pendauran ulang sampah, meskipun itu adalah bahan yang secara teknis dapat didaur ulang.
Bahan plastik atau silikon yang fleksibel juga sulit untuk didaur ulang karena memiliki banyak lapisan.
Produk sample size, travel size, atau produk sekali pakai juga buruk bagi lingkungan.
"Produk kecantikan yang dibuat untuk digunakan sekali dan dibuang, seperti cleansing wipe dan sheet mask, menciptakan banyak sampah yang tidak perlu," kata Susan Stevens, pendiri dan CEO Made With Respect kepada Vogue tahun lalu.
“Untuk sheet mask, ada kemasan luarnya, masker, dan terkadang masker dibungkus lagi dengan plastik. Kemasan yang menampung sheet mask seringkali merupakan kombinasi aluminium dan plastik, yang tidak dapat didaur ulang."
Kini akhirnya ada lebih banyak brand yang mencoba menggunakan sumber dan melakukan pengemasan yang berkelanjutan.
Beberapa menggunakan kemasan yang dapat diisi ulang, yang lain menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang.
Salah satu contohnya adalah The Body Shop yang memiliki program daur ulang untuk kemasan bekas produk mereka sendiri dan produk dari brand lain.
Tak ketinggalan, merek-merek mewah pun mulai menyediakan layanan isi ulang.
Dior, Hermes, Hourglass, Chanel, dan Le Labo semuanya memiliki pilihan isi ulang, dan Mugler telah menawarkan isi ulang parfum sejak 1992.
Unilever memiliki refill station yang masih terbatas untuk produk-produk perawatan diri.
Beberapa brand lokal yang memiliki program pendauran ulang pada setiap gerainya adalah BLP dan Sensatia Botanicals.
Namun program serupa juga seringkali diadakan pada berbagai festival kecantikan yang diselenggarakan di Indonesia.
Di sisi lain, biaya yang dibutuhkan untuk bahan dan pengemasan yang etis, sertifikasi label ramah lingkungan, dan tenaga kerja yang dipekerjakan secara etis membuat produk-produk ini cenderung lebih mahal.
Sehingga mungkin produk-produk dari brand sustainable masih belum dapat menjadi pilihan utama bagi mayoritas pengguna produk kecantikan.
Nah, itu dia Stylovers konsep sustainable beauty yang menjadi solusi masalah sampah kemasan akibat tren skincare.
Semoga ke depannya ada lebih banyak brand lokal yang mengusung konsep sustainable beauty dengan harga yang lebih terjangkau, ya! (*)
StopBeautyShaming merupakan kampanye gerakan nyata dari Stylo Indonesia.
Stylo Indonesia adalah platform media & komunitas organik terlengkap mengenai dunia lifestyle, fashion dan beauty bagi dan seluruh perempuan Indonesia.
Potret Serba Pink Marshanda Kenakan Off-Shoulder Dress, Makin Cantik dan Memikat!
KOMENTAR