Seorang penjual Depop, sebuah website untuk berjualan baju bekas, Monique Miu Masuko yang berusia 23 tahun, sudah sering membeli baju bekas karena ibunya mengajarinya bahwa membeli baju bekas adalah cara termudah dan paling terjangkau untuk tetap mengikuti tren.
“Thrifting itu lebih terjangkau, mudah diakses, dan ramah lingkungan, ketiganya sejalan dengan keberlanjutan masa depan Gen Z,” katanya.
Gen Z bukanlah satu-satunya demografis yang aktif berbelanja baju bekas saat ini.
Mesin telusur mode Lyst melaporkan bahwa, pada bulan September lalu, terdapat peningkatan 104% dalam penelusuran mode online untuk kata kunci yang berhubungan dengan baju bekas seperti "busana vintage" dan "slow fashion".
Diperkirakan 46% Gen Z berbelanja baju bekas pada tahun 2019, menurut Medium, dibandingkan dengan 37% milenial dan hanya 18% dari Gen X.
Baca Juga: Hobi Thrifting? Ini Dia Rekomendasi Tempat Belanja Baju Bekas Super Murah di Bandung
Tidak seperti milenial yang memiliki karakteristik "mencari validasi melalui pembelian barang-barang baru”, Gen Z justru terobsesi untuk menjadi berbeda dari teman-teman mereka.
Beberapa menyebutkan bahwa kemampuan untuk tampil unik dan membangun selera gaya yang lebih personal sebagai salah satu alasan mereka melakukan thrifting.
Thrifting memungkinkan para anak muda ini membangun kepercayaan diri dalam gayanya tanpa mengeluarkan uang berlebihan.
Ada juga masalah krisis iklim yang membayangi, yang banyak disebut sebagai motivasi utama untuk melakukan thrifting.
“Thrifting mengajari saya bahwa saya dapat memberikan dampak positif pada dunia ini dengan berbagai cara,” ujar Tori López, berusia 24 tahun asal New York.