Ditambah dengan kemunculan ikon fashion seperti Marie Antoinette, hal ini membuat banyak orang mengaitkan Paris dengan "fashion dan kesenangan sensual", seperti yang ditulis Steele dalam buku pameran Paris, Capital of Fashion.
Revolusi Industri Fashion Prancis
Meskipun telah kehilangan gelar sebagai negara adikuasa terbesar di dunia dikalahkan oleh Inggris, keunggulan Prancis dalam fashion masih bertahan lama setelah jatuhnya Kekaisaran Prancis Pertama.
Berbeda dengan London, yang unggul dalam pakaian pria, Paris berfokus pada pakaian wanita.
Fashion Prancis berputar di sekitar gagasan la Parisienne - wanita Paris yang ideal, bergaya, berbudaya, dan cerdas.
Tetapi di samping semua nilai prestise dan kemasyhurannya, fashion Prancis beroperasi dalam skala kecil hingga desainer Inggris Charles Frederick Worth mendirikan toko di Paris pada pertengahan abad ke-19.
“Kalian punya banyak pembuat busana,” kata Steele, “tapi kebanyakan dari mereka adalah pengrajin skala kecil”.
Worth merevolusi industri fashion Prancis dengan memperkenalkan konsep grande couture.
Untuk pertama kalinya di negara ini, high fashion diproduksi dalam skala besar.
Namun, Worth, belakangan berbicara bukan tentang grande atau couture skala besar, tetapi haute (artinya 'high') couture.
“Dia mengklaim bahwa haute couture adalah bentuk seni dan dia adalah seorang seniman," kata Steele.
Saat ini, haute couture sering digunakan sebagai istilah umum untuk pakaian mewah secara umum, tetapi di Prancis - dan di kalangan fashion umumnya - ini adalah sebutan yang hanya diperuntukkan bagi desainer yang memenuhi serangkaian kriteria yang ketat.
Zaman Keemasan
Pada akhir 1940-an dan awal 50-an, desainer seperti Christian Dior, Gabrielle 'Coco' Chanel, dan Hubert de Givenchy mengantarkan apa yang sekarang disebut sebagai 'Zaman Keemasan' fashion Prancis, dan tidak diragukan lagi sebagai supremasi Paris dalam pakaian wanita.
Hal-hal menjadi sedikit lebih rumit di pertengahan '60 -an, sementara tahun 1970-an dan '80 -an Milan dan Tokyo justru tumbuh dan dikenali sebagai pusat mode utama.
Di masa tersebutlah terjadi pembelotan seperti desainer Jepang Kenzo Takada yang hijrah dan membawa pengaruhnya ke Paris.
Meskipun dunia fashion Prancis tetap menikmati semacam kebangkitan kembali dengan desainer seperti Christian Lacroix dan Jean-Paul Gaultier, di akhir tahun 80-an dan 90-an Paris harus mengalami tekanan akibat persaingan dari London dan New York.
Namun melalui soft power dan branding budaya, kemunculan haute couture, dan promosi yang tekun dari fashion Prancis atas nama Prancis, serta para pencipta selera di luar negeri, Paris tetap menikmati reputasi kecantikan yang tampaknya tak terbantahkan.