Baca Juga: Srikandi untuk Negeri, Steffy Burase Promosikan Keindahan Wisata Alam dan Kain Aceh
Makan Bajamba biasanya disantap bersama-sama dengan 4 orang.
Ketua acara Makan Bajamba, Shinta Oemar mengatakan tali silaturahmi tidak hanya terbentuk pada saat menyantap hidangan secara bersamasama semata, tetapi silaturahmi telah terjalin sejak pemilihan bahan, proses memasak dan berbagai persiapan lainnya.
"Bumbu-bumbu yang diperlukan biasanya diambil dari ladang dan kebun rumah mereka masing-masing secara bergotong royong. Setelah bumbu disiapkan, pada umumnya kaum laki-laki yang memasak. Setiap daerah memiliki ciri khas hidangan daerahnya. Biasanya, hidangan yang disajikan itu di antaranya rendang, cancang dagiang, gulai sayur nangka atau rebung yang dimasak dengan rempah-rempah. Selain itu, ada beras pulut, pinyaram, kalami, dan sejumlah makanan khas lainnya sesuai dengan kebudayaan di nagarinya masing-masing,” ungkap Shinta Oemar.
Ragam hidangan dalam kehidupan orang Minangkabau dijelaskan Shinta Oemar adalah ungkapan syukur atas kekayaan dan kesuburan tanahnya.
"Makanan tradisional menjadi elemen pokok dalam menciptakan kebersamaan antar masyarakat Minang. Segala persiapan merupakan sebuah proses kebersamaan yang mengikat menjadi tali silaturahmi,” tutur Shinta Oemar.
Sedangkan Cahayo Hati Limpapeh adalah sebuah kelompok insan yang peduli atas kelestarian budaya Minangkabau dan pada kelestarian budaya Nusantara pada umumnya.
Cahayo Hati Limpapeh bergiat melestarikan budaya Minang dengan memperkenalkan kekayaan dan nilai luhur adat istiadat budaya Minangkabau kepada generasi muda dan pada dunia dengan visi dan misi mengangkat marwah dan kehormatan yang telah diturunkan oleh leluhur kita sesuai budaya dan adat secara turun temurun di seluruh Minangkabau, Sumatera Barat.
Ketua Perkumpulan Cahayo Limpapeh, Arlisty Sutan Assin R mengakui bahwa membantu orang di kampung halaman yang ditinggalkan.
Menjaga kearifan lokal dengan tetap dan tidak meninggalkan busana, tradisi, norma, nilai-nilai, aturan dan hukum yang menjadi sistem dalam masyarakat Minangkabau.
“Ibu Sativa Sutan Aswar (ibu Atitje Aswar) yang adalah Pendiri dan Pembina dari Cahayo Hati Limpapeh, pada 1996 kembali ke Tanah Datar dan tinggal di sana untuk mengajar mereka menenun. Agar pakaian Minang dan tengkuluknya dipakai kembali dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga para perajin mulai kembali menenun, dan membantu mereka dalam meningkatkan nilai ekonomi rumah tangganya. Untung lah kemajuan ini sedikit demi sedikit sudah mulai terasa,” kata Arlisty Sutan Assin R.
Kata ‘Limpapeh’ sendiri diakui Arlisty Sutan Assin R menggambarkan keindahan dari peranan Bundo Kanduang sebagai dasar dari sistim keluarga matrilineal.
Limpapeh sebagai simbol yang mengutakamakan kekuatan pentingnya peranan bundo kanduang di dalam menjalankan nilai-nilai, norma-norma, aturan dan hukum dalam adat Minangkabau, serta pewaris pusaka tinggi dalam Rumah Gadangnya.
(*)
Cara Benar Membersihkan Dispenser Agar Kualitas Air Minum Terjaga, Mama Milenial Wajib Tahu!
KOMENTAR