"Menurut saya stereotip ini negatif karena orang menganggap wanita yang lebih tua itu tradisional atau tidak suka mencoba hal baru," kata Jóhannsdóttir.
Forum internet, blog, dan platform media sosial telah menjadi wadah yang penting, tidak hanya untuk mendukung karya perajut ekstrem seperti Zelentsova dan Jóhannsdóttir, tetapi juga dalam memperkenalkan rajutan kepada generasi muda dan untuk menjaga tradisi merajut tetap hidup.
Lizzie Morgan, seorang perajut yang dikenal sebagai @GimmeKaya di Instagram, mengatakan bahwa platform media sosial menginspirasinya untuk melakukan kerajinan tersebut.
Morgan mengatakan bahwa antusiasme terhadap rajutan di platform digital juga lahir dari keinginan generasi muda untuk memerangi perubahan iklim.
“Menurut saya banyak anak muda yang sadar betapa merusaknya industri fast fashion, baik (untuk) pekerjanya dan untuk lingkungan. Sekarang, banyak dari kita yang memilih untuk membuat pakaian sendiri atau berbelanja dari merek yang lebih ramah lingkungan. Masyarakat kita sangat konsumtif, jadi menurut saya merajut merupakan bentuk pemberontakan dan pemberdayaan untuk menjauh dari kebiasaan konsumtif itu," ujar Morgan.
Baca Juga: Lia Mustafa Hadirkan Tren Busana Rajut dengan Tema Mata di Panggung Jogja Fashion Week 2018
Morgan sangat berterima kasih kepada komunitas perajut online yang mendukung karya berkelanjutan ini di mana kondisi keuangan memburuk akibat pandemi.
Akibat rajutan yang kembali menjadi tren, pengikut Morgan di Instagram telah meningkat tiga kali lipat sejak dimulainya pandemi.
Nah, itu dia Stylovers kisah unik dari busana rajutan yang sering dianggap kuno tapi justru menjadi tren fashion akibat lockdown.
Apakah kamu salah satu yang sudah mencoba merajut untuk mengisi waktu selama di rumah? Kalau belum, bisa jadi salah satu ide nih! (*)
Cara Benar Membersihkan Dispenser Agar Kualitas Air Minum Terjaga, Mama Milenial Wajib Tahu!
KOMENTAR