Dampak Negatif Pernikahan Usia Dini Pada Kesehatan Mental Perempuan
Sebuah studi yang dilakukan oleh Danusha Jayawardana, Research Fellow Monash University, mengungkap bahwa praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.
Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, di mana 30 persen di antaranya menikah pada usia 18 tahun.
Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah usia 18 tahun, dapat mengurangi risiko depresi bagi perempuan.
Lebih lanjut, studi ini juga menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.
Apalagi bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini, mereka berpotensi merasa terasingkan secara sosial.
Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan.
Meski begitu, studi tersebut juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan.
Apalagi, faktor ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang bisa memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan.
Menurut Danusha, pernikahan usia dini seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri.
“Dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini,” jelas Danusha.
“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," tambahnya. (*)