Sejarah Pahlawan Perempuan Indonesia Maria Walanda Maramis, Dirikan PIKAT hingga Dijuluki R.A. Kartini Versi Minahasa

By Layla Ekrep, Kamis, 23 Juni 2022 | 14:30 WIB
Profil dan cerita pahlawan perempuan: Maria Walanda Maramis (Wikimedia Commons - kompas.com)

Stylo Indonesia - Maria Walanda Maramis memiliki nama asli Maria Josephine Catherine Maramis, dikenal sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Maria Walanda Maramis lahir pada tanggal 1 Desember 1872, di Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Maria Walanda Maramis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara; Ayahnya Bernadus Maramis dan Ibunya Sarah Rotinsulu.

Maria Walanda Maramis memiliki seorang Kakak Perempuan bernama Antje dan seorang Kakak Laki-laki bernama Andries (lebih lanjut Andries terlibat dalam pergolakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia).

Malangnya, saat Maria menginjak usia 6 tahun, wabah Kolera yang menyerang Kema kala itu membuat orang tuanya meninggal.

Maria kecil dan kedua saudaranya kemudian dibawa oleh Sang Paman yang bernama Mayor Ezau Rotinsulu ke Maumbi dan mengasuh serta membesarkan mereka di sana.

Maria dan Kakak Perempuannya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Melayu di Maumbi, berbeda dengan Kakak Laki-lakinya yang disekolahkan di sekolah raja di Tondano.

Minimnya kebebasan dan akses perempuan mendapatkan pendidikan karena adanya batasan bahwa perempuan Minahasa tidak diperbolehkan sekolah hingga tingkat tertinggi, membuat Maria dan Kakaknya harus berhenti sekolah dan menuruti aturan untuk tinggal di rumah hingga dipersunting. 

Baca Juga: Sejarah Pahlawan Perempuan Indonesia Raden Adjeng Kartini, Pelopor Kebangkitan Perempuan Bisa Terima Pendidikan dan Bekarier

#Perjuangan dan Cerita Inspiratif

Diasuh oleh Kepala Distrik di Maumbi yang cukup terpandang (pejabat pribumi), membuat Maria secara tidak langsung dapat bergaul dengan orang-orang Belanda di sana yang memberikan banyak wawasan.

Salah satunya adalah berteman dengan kaum terpelajar bernama Jan Ten Hove Salah; pendeta Belanda di Maumbi, yang membuatnya terinspirasi untuk memajukan kaum wanita di Minahasa.

Pola pikir yang berkembang serta pengalaman singkat mengenyam pendidikan akhirnya menghantarkan Maria pada keinginannya mendobrak batasan yang mengekang hak perempuan.

Pada usia 18 tahun Maria menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado, yang kemudian mengajaknya pindah dan menetap di Manado.

Pernikahan ini turut berperan dalam proses perjuangannya karena Maria jadi belajar banyak hal tentang keadaan masyarakat Sulawesi, sehingga semakin yakin akan dorongan hatinya untuk memajukan perempuan dalam mendapatkan hak-hak mereka. 

Maria kerap aktif menulis opini yang menyoroti arti penting sosok ibu dan perempuan di kehidupan (terutama dalam pendidikan anak), pada surat kabar setempat bernama Tjahaja Siang.

Baca Juga: Sejarah Pahlawan Perempuan Indonesia Dewi Sartika, Perintis Emansipasi dan Pendidikan Perempuan Pribumi

1. Mendirikan PIKAT

Proses perjuangannya semakin dikenal, hingga pada 8 Juli 1917, dibantu oleh suami dan rekan-rekannya, Maria mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya).

PIKAT sendiri bertujuan untuk mendidik kaum perempuan yang tamat sekolah tingkatan rendah dari berbagai macam kalangan;

menyediakan suatu waktu bagi kaum perempuan Minahasa agar mereka dapat saling bergaul dan mengenal, membawa masa depan pemuda Minahasa, dan membiasakan para perempuan Minahasa untuk mengeluarkan dan merumuskan pandangan-pandangan serta pikiran-pikirannya secara bebas.

Disambut antusias dan mendapatkan banyak dukungan, dalam beberapa waktu PIKAT kemudian berkembang dalam beberapa cabang bahkan di luar wilayah Minahasa.

Di Manado pada 2 Juli 1918, didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT yang memberi pendidikan pada kaum perempuan tentang rumah tangga, misalnya memasak, menjahit, merawat bayi, dan sebagainya.

Seluruh kegiatan dan perjuangannya di dalam organisasi ini diperkenalkan kepada masyarakat melalui curahan tulisan Maria yang dimuat dalam surat kabar.

Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri; sebagai salah satu jalan Maria mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. 

Baca Juga: Sejarah Pahlawan Perempuan Indonesia Dewi Sartika, Perintis Emansipasi dan Pendidikan Perempuan Pribumi

2. Hak Pilih Perempuan

Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad yang mana pemilihan anggota selanjutnya ditentukan melalui pemilihan suara dan yang mendapatkan hak suara serta menjadi anggota hanya laki-laki saja pada waktu itu.

Hal ini jelas ditentang oleh Maria yang kemudian berusaha supaya perempuan juga mendapatkan hak yang sama; memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. 

Perjuangannya di bidang politik ini membuahkan hasil pada tahun 1921, di mana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan perempuan untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.

#Akhir Hidup

Usia yang semakin bertambah seiring dengan kondisi kesehatan yang menurun, Maria Walanda Maramis menutup usia pada 22 April 1924.

Berkat perjuangannya, Pada 20 Mei 1969, berdasarkan Surat Kepres No 012/TK/1969, Maria dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia.

Guna mengenang jasa-jasanya, Pemda Minahasa juga membangun Monumen Maria Walanda Maramis di Desa Maumbi.

Selain itu, masyarakat Minahasa memperingati setiap tanggal 1 Desember sebagai Hari Ibu Maria Walanda Maramis.

Tidak heran, Maria Walanda Maramis dijuluki sebagai R.A. Kartini versi Minahasa karena telah memperjuangkan emansipasi perempuan pada awal abad ke-20, tanpa kenal lelah dan tak gentar. (*)

Referensi:

1. id.wikipedia.org

2. kompas.com

3. m.merdeka.com