Stylo Indonesia - Stylovers, seberapa sering kamu membeli baju baru?
Apakah harus langsung membeli setiap ada pakaian yang menarik hati? Satu bulan sekali? Atau di momen istimewa saja seperti menjelang hari raya atau ulang tahun?
Kemajuan teknologi dan derasnya informasi soal tren fashion yang terus bergulir tanpa sadar membuat belanja baju baru menjadi kegiatan yang sangat mudah.
Mungkin, Stylovers juga tak pernah terpikir proses panjang yang terjadi sebelum pakaian yang kita beli itu kita pilih di mall, atau kita klik di marketplace hingga akhirnya sampai ke rumah kita.
Sebuah momen penyadaran dialami oleh Denica Riadini-Flesch, Co-founder dan CEO SukkhaCitta dan Rumah SukkhaCitta Foundation.
Menyadari adanya kehidupan banyak perempuan hingga kelestarian bumi yang dipertaruhkan demi pakaian yang kita pakai, Denica banting setir dari kariernya untuk memulai perubahan.
Inilah kisah Denica Riadini-Flesch, sosok #InspirasiCantik kita kali ini.
Denica adalah sosok perempuan dengan latar belakang sebagai ekonom yang sempat menyelesaikan pendidikannya di Erasmus University Rotterdam, Belanda.
Sebelumnya, ia banyak bekerja di sektor nirlaba atau Lembaga Swadaya Masyarakat.
Perjalanan kariernya juga sempat mengantarnya bekerja sebagai konsultan program pengembangan sosial di Bank Dunia.
Meski melanglang buana demi pendidikan dan pengalaman, Denica mendeskripsikan dirinya sebagai seorang kutu buku yang selalu ingin berkontribusi untuk Indonesia.
Perjalanan Mencari Makna
Keinginan Denica untuk memiliki makna yang lebih mendorongnya untuk melakukan riset sendiri, berkeliling dari desa ke desa untuk belajar tentang kemiskinan.
Apa yang Denica temukan sungguh di luar dugaan, ada kenyataan yang sangat tersembunyi dari mereka yang tinggal di kota besar.
Denica menyaksikan adanya eksploitasi perempuan dan bumi yang terjadi di balik pakaian yang kita kenakan setiap hari.
Tentunya temuan ini membuat Denica sangat patah hati ketika dihadapkan dengan dampak sebenarnya di balik pilihan kita yang mungkin terkesan sederhana, membeli pakaian.
“Saya besar di Jakarta, jadi selama ini saya tidak pernah tahu ada perjalanan panjang di balik benda-benda yang kita gunakan setiap hari,” ujar Denica memulai cerita.
“Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menyadari bahwa pakaian tidak hanya muncul di toko-toko. Tapi ada jutaan perempuan yang mata pencahariannya bergantung padanya,” lanjutnya.
Denica menyaksikan secara langsung para ibu-ibu di daerah yang membuat kain dengan tangan, menggunakan teknik warisan yang dipelajari dari nenek moyang mereka.
Meski tampak indah, tak bisa dipungkiri bahwa ibu-ibu tersebut masih harus hidup di bawah garis kemiskinan.
Sulit mendapatkan akses yang dibutuhkan dan tentunya tidak dilindungi oleh peraturan hukum sebagai industri yang informal.
“Saat itulah saya menyadari bahwa ada hubungan yang terputus antara kita sebagai pelanggan dan bagaimana pakaian kita dibuat. Ini yang mendorong saya untuk membangun jembatan, sebuah usaha sosial yang mengundang komunitas di seluruh dunia untuk menjadi bagian dari solusi beberapa masalah sosial dan lingkungan paling mendesak di dunia,” jelasnya.
Untuk Ibu dan Bumi
“Bertemu dengan ibu-ibu di desa benar-benar mengubah hidup saya!” tukas Denica.
Kepada Stylo Indonesia, Denica memaparkan kenyataan yang menyedihkan, bahwa 98 persen perempuan yang membuat pakaian kita tidak dapat menghasilkan cukup uang untuk menghidupi keluarga mereka.
Fakta ini membuat Denica semakin menyadari betapa besarnya pengaruh pilihan kita dalam kehidupan orang lain.
Selain ibu-ibu di desa, praktik fast fashion juga ikut mengorbankan bumi kita, our mother nature.
“Saya melihat secara langsung dampak buruk bahan kimia yang digunakan untuk membuat pakaian kita. Dimana sungai-sungai berubah warna mengikuti warna tren koleksi fashion terbaru,” Denica berkisah.
Ironisnya, sungai yang tercemar tersebut adalah sungai yang sama, yang juga mengirigasi makanan kita.
Kondisi ini mendorong Denica untuk mencari jalan yang lebih baik, untuk membantu perempuan pengrajin pakaian dapat keluar dari kemiskinan sambil sekaligus menyembuhkan bumi.
“Tapi saya tahu tidak mungkin bisa melakukannya sendiri. Jadi, saya memutuskan untuk membangun sebuah usaha sosial untuk mengundang Anda menjadi bagian dari perjalanan membangun dunia yang lebih adil, di mana setiap pembelian mendanai pekerjaan kami di desa,” ujar Denica.
SukkhaCitta dan Rumah SukkhaCitta Foundation
SukkhaCitta adalah usaha sosial yang dibangun untuk menjembatani antara pengrajin perempuan dengan pekerjaan yang adil dan berkelanjutan.
Dengan konsep fashion berkelanjutan, SukkhaCitta menawarkan koleksi pakaian dengan gaya simpel dan elegan yang dibuat dari bahan dan teknik berkelanjutan dan ramah lingkungan oleh pengrajin perempuan yang dikompensasi secara setimpal dan adil.
Sebagai usaha sosial, 100 persen dari keuntungan SukkhaCitta diinvestasikan kembali ke dalam program pembangunan desa yang mereka jalankan.
Di antaranya ada program-program pelatihan, mendanai sekolah kerajinan, hingga proyek pertanian regeneratif.
“5 tahun kemudian, dampaknya sangat terasa. Di desa kami dan sekitarnya, ibu-ibu kami menjadi pembuat perubahan yang mengangkat komunitas mereka!” ujar Denica dengan antusias.
Namun untuk dapat menciptakan solusi yang bermakna untuk masalah dunia yang sangat besar ini, Denica sadar tidak bisa melakukannya sendiri.
Sehingga di tahun 2020, ia memutuskan untuk mendirikan Yayasan Rumah SukkhaCitta bagi mitra yang memiliki misi serupa dan ingin memperkuatnya bersama.
“Semua project pembangunan, reforestasi, dan edukasi kami di desa-desa seluruh Indonesia dijalankan oleh Yayasan Rumah SukkhaCitta,” jelas Denica.
Di antaranya ada sekolah kerajinan yang memberi pelatihan mengenai bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan sebelum menghubungkannya dengan pasar.
Kemudian ada proyek pertanian regeneratif yang mendukung petani-petani di Desa Gaji dan Jlamprang, Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk bertransisi ke praktik pertanian yang lebih berkelanjutan.
Misalnya dengan menanam kapas organik di halaman belakang mereka, menggunakan sapi lokal sebagai pupuk alami, dan menanam tanaman pewarna alami.
SukkhaCitta juga mendorong penggunaan pewarna alami dalam setiap kain mereka dan praktik zero-waste.
Salah satu programnya adalah dengan mengubah sampah agrikultur menjadi pewarna yang ramah lingkungan, serat alami dari limbah pisang dan nanas, hingga mengolahnya jadi produk yang layak dipasarkan.
Kontribusi Denica bersama SukkhaCitta berhasil mendapatkan sejumlah penghargaan seperti Leadership Award for Sustainable Fashion dari Common Objective di tahun 2022 dan menjadi salah satu Forbes 30 Under 30 oleh Forbes Asia tahun 2019.
Dalam kegiatannya, SukkhaCitta juga telah bekerja sama dengan banyak pihak, di antaranya UN Climate Change Conference UK 2021 dan Pekan Kebudayaan Nasional.
Bersama Rumah SukkhaCitta Foundation, ada impian mulia yang ingin dicapai oleh Denica.
“Kami membayangkan masa depan di mana kita dapat berkembang bersama dengan alam, yang didukung oleh ekonomi desa yang tangguh yang berakar pada budaya asli, kesetaraan gender, dan rasa hormat yang mendalam terhadap batas-batas planet kita,” ujarnya.
SukkhaCitta juga terbuka bagi siapa saja yang ingin ikut mendukung isu yang mereka perjuangkan lewat beragam cara.
“Kami memiliki program beasiswa dan reforestasi yang dapat Anda dukung. Siapa saja dapat memilih untuk menjadi donor bulanan atau berkontribusi pada proyek tertentu. Dan tentu saja, setiap pembelian SukkhaCitta secara langsung berkontribusi untuk memajukan misi kami,” pesannya.
Nah, itu dia Stylovers kisah #InspirasiCantik kali ini dari Denica Riadini-Flesch yang memperjuangkan pemberdayaan bagi pengrajin perempuan dan kelestarian bumi lewat sustainable fashion.
Semoga kisah #InspirasiCantik kali ini bisa membangkitkan semangat Stylovers yang juga ingin berkontribusi lebih bagi masyarakat Indonesia, ya! (*)
#InspirasiCantik