Meski tampak indah, tak bisa dipungkiri bahwa ibu-ibu tersebut masih harus hidup di bawah garis kemiskinan.
Sulit mendapatkan akses yang dibutuhkan dan tentunya tidak dilindungi oleh peraturan hukum sebagai industri yang informal.
“Saat itulah saya menyadari bahwa ada hubungan yang terputus antara kita sebagai pelanggan dan bagaimana pakaian kita dibuat. Ini yang mendorong saya untuk membangun jembatan, sebuah usaha sosial yang mengundang komunitas di seluruh dunia untuk menjadi bagian dari solusi beberapa masalah sosial dan lingkungan paling mendesak di dunia,” jelasnya.
Untuk Ibu dan Bumi
“Bertemu dengan ibu-ibu di desa benar-benar mengubah hidup saya!” tukas Denica.
Kepada Stylo Indonesia, Denica memaparkan kenyataan yang menyedihkan, bahwa 98 persen perempuan yang membuat pakaian kita tidak dapat menghasilkan cukup uang untuk menghidupi keluarga mereka.
Fakta ini membuat Denica semakin menyadari betapa besarnya pengaruh pilihan kita dalam kehidupan orang lain.
Selain ibu-ibu di desa, praktik fast fashion juga ikut mengorbankan bumi kita, our mother nature.
“Saya melihat secara langsung dampak buruk bahan kimia yang digunakan untuk membuat pakaian kita. Dimana sungai-sungai berubah warna mengikuti warna tren koleksi fashion terbaru,” Denica berkisah.
Ironisnya, sungai yang tercemar tersebut adalah sungai yang sama, yang juga mengirigasi makanan kita.
Kondisi ini mendorong Denica untuk mencari jalan yang lebih baik, untuk membantu perempuan pengrajin pakaian dapat keluar dari kemiskinan sambil sekaligus menyembuhkan bumi.