Stylo Indonesia - Stylovers, apakah kamu sadar dengan adanya standar kecantikan yang terbentuk untuk perempuan?
Tanpa disadari, pandangan bahwa perempuan yang dianggap cantik adalah yang berkulit terang, berbadan langsing, atau berambut lurus adalah contoh nyata dari standar kecantikan.
Seringkali standar kecantikan ini membuat perempuan melakukan berbagai hal untuk memenuhi standar tersebut, hingga tak jarang terlewat batas dan mengganggu kesehatan mental.
Padahal, menurut psikolog standar kecantikan sebenarnya tak perlu menjadi beban untuk perempuan, dan perbedaan penampilan seharusnya menjadi sesuatu yang dirayakan karena keunikannya.
Baca Juga: Cara Mengatur Pola Hidup Agar Kondisi Mental Lebih Sehat dan Stabil Menurut Psikolog, Ikuti Tipsnya!
Ayoe Sutomo, M.Psi., Psikolog. seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga mengungkapkan bagaimana sebaiknya perempuan menyikapi standar kecantikan agar tidak menjadi beban tersendiri.
Sebelumnya, standar kecantikan lahir dari budaya yang sudah terbentuk secara turun temurun.
Standar kecantikan yang berlaku di setiap masyarakat bisa berbeda-beda tergantung budaya yang mereka miliki.
“Misalnya penentuannya kenapa bisa ada suku tertentu yang menganggap justru wanita yang berbadan gemuk yang dianggap cantik, di satu sisi ada yang bilang yang sangat kurus yang sangat cantik. Itu lebih kepada culture, budaya yang terbentuk dari dulu-dulunya,” jelas Ayoe.
Standar kecantikan yang ada di lingkungan ini kemudian bisa mulai mempengaruhi perempuan seiring dengan bertambahnya usia perempuan, terutama di masa transisi dari anak-anak menjadi remaja.
Standar kecantikan bisa menjadi beban untuk perempuan karena dianggap sebagai keharusan agar ia bisa lebih diterima atau dipandang oleh masyarakat.
Baca Juga: Perhatikan Kesehatan Mental, Ini Tanda Kamu Sudah Harus ke Psikolog!
“Kita kan juga makhluk sosial, berinteraksi dengan lingkungan sekitar, butuh diterima. Nah lingkungan itu memiliki standar-standar. Itu yang membuat kita kemudian berusaha memenuhi standar-standar itu,” ujar Ayoe.
Kemudian, bagaimana sebaiknya perempuan menyikapi standar kecantikan agar tidak menjadi beban tersendiri untuk mereka?
Ayoe membaginya menjadi dua sudut pandang, dari segi pendidikan keluarga dan dari segi individu sendiri.
Dari segi pendidikan keluarga, sejak perempuan kecil, sebaiknya sudah ditanamkan bahwa standar kecantikan itu menjadi hal yang harus dipenuhi.
“Mulai memasukkan pemahaman-pemahaman bahwa cantik itu bukan sekadar fisik, tapi ada hal lain yang bisa dilihat menarik. Hal-hal seperti itu harus mulai untuk dipaparkan ke individu,” jelas Ayoe.
Sedangkan dari segi individu sendiri, setiap perempuan perlu menyadari bahwa dirinya adalah unik.
“Dekatkan diri dengan lingkungan pertemanan yang enggak menganggap bahwa cantik itu segalanya. Lingkungan yang sehat adalah yang memang memahami ada hal lain yang bisa dilihat selain penampilan,” lanjutnya.
Nah, itu dia Stylovers penjelasan psikolog mengenai standar kecantikan dan perempuan.
Apabila kamu pernah mengalami beauty shaming hingga cukup mengganggu mental, jangan ragu untuk mengabarkannya ke orang terdekat atau berkonsultasi dengan ahlinya. Yuk, lebih sadar dengan kesehatan mentalmu! (*)
#StopBeautyShaming