Kain Pinawetengan, Tenun Minahasa Sulawesi Utara dalam Busana Siap Pakai oleh Denny Malik

By Mreizghi Alvio Linchia, Jumat, 13 Maret 2020 | 14:26 WIB
Kain Pinawetengan, Tenun Minahasa Sulawesi Utara Dikemas dalam Busana Siap Pakai oleh Denny Malik (Dok. Tim Muara Bagdja)

Stylo.ID - Indonesia dengan beragam budaya yang membentang dari Sabang hingga Merauke adalah kekayaan negara yang patut diapresiasi dan dilestarikan.

Begitupun wastra nusantara, ragamnya sangat banyak tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Salah satunya adalah Kain Pinawetengan.

Yuk mengenal Kain Pinawetengan, kain tradisional dari Minahasa, Sulawesi Utara.

Baca Juga: Muslim Fashion Festival 2020: Busana Muslim Berbahan Tenun Tradisional Sulawesi Utara Karya Wignyo Rahadi Bertajuk Ethnic Radiance

Kain Pinawetengan merupakan kain tradisional dengan corak khas Minahasa yang direka ulang dengan corak dan teknik baru karena kain tradisional Minahasa yang asli sudah lama punah.

Sampai saat ini konon hanya ada satu lembar wastra dari Minahasa yang ada di Indonesia, di Museum Nasional, sementara ada dua lembar kain lainnya di Tropen Museum, Amsterdam, Belanda.

Kekosongan kain tradisional ini berlangsung hingga tahun 2000-an sampai Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara di bawah pimpinan Irjen. Pol. (purn) Benny Mamoto berinisiatif untuk mengembangkan kain yang mempunyai ciri khas Minahasa dengan berlandaskan kearifan lokal budaya Minahasa.

Baca Juga: Bak Boneka Cantik dari India, Inul Daratista Banjir Pujian Kala Berbalut Dress Tenun Sutra Ala Bollywood

Pada awalnya kain yang dibuat dalam bentuk print dengan mengangkat corak-corak dan guratan yang tertera di situs budaya Watu Pinawetengan.

Watu Pinawetengan ( Tempat Pembagian) berada di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

(Ki-Ka): Iyarita Mamoto, Irjen Pol (purn) Benny Mamoto, dan Denny Malik (Dok. Tim Muara Bagdja)

Situs ini sendiri diperkirakan berusia sekitar 2000 tahun, namun baru ditemukan sejak tahun 1888.

Baca Juga: Warna-Warni Jakarta dalam Koleksi Batik Betawi Terbaru dari Desainer Tenun Wignyo Rahadi

Pada awalnya Kain Pinawetengan hanya memproduksi kain-kain bermotif yang ada di Watu Pinawetengan dalam bentuk cetak (print).

Terdapat guratan-guratan yang sebagian membentuk corak di situs tersebut; ada yang berbentuk manusia, alat kemaluan laki-lakil dan perempuan, corak daun, dan beberapa kumpulan garis tak beraturan tanpa makna.

Tak berhenti sampai di situ kain print ini pun dikembangkan lagi dalam berbagai motif.

Baca Juga: Desainer Wignyo Rahadi Hadirkan Tenun Ikat Tanimbar Maluku dengan Sentuhan Modern

Terdapat corak bunga cengkeh, dan motif aneka binatang bahari, karena Minahasa terkenal akan biota laut yang sangat kaya, serta masih banyak lagi.

Kain Pinawetengan, kain tenun Minahasa (Dok. Tim Muara Bagdja)

Kemudian pada tahun 2007, Kain Pinawetengan mengembangkan produknya menjadi aneka jenis kain dengan teknik pembuatan yang lebih tradisional, mengembangkan tenun ikat dengan corak-corak tradisional khas Minahasa.

Para perajin yang membuat kain jenis ini merupakan staf Wale Tenun yang merupakah bagian dari Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara.

Baca Juga: Pesona Tenun Ikat Dayak Iban dengan Pewarna Alami Sukses Melenggang di Berbagai Panggung Fashion Week

Setelah itu, Kain Pinawetengan mengembangkan tenun songket yang ragam motifnya pun masih diambil dari berbagai motif tradisional khas Minahasa.

Tenun Minahasa, Kain Pinawetengan (Dok. Tim Muara Bagdja)

Kain Pinawetengan telah dipatenkan dan telah tercatat dalam Guiness Book of Record yang diakui sebagai tenun songket terpanjang di dunia dengan panjang kain mencapai 101 meter tanpa sambungan.

KAWAN dipilih menjadi tajuk untuk peresmian Rumah Kain Pinawetengan dan menggambarkan pertemanan (sejak 2009) antara Denny Malik, yang menggarap kreasi busana siap pakai Kain Pinawetengan, dengan pemilik Rumah Kain Pinawetengan, Iyarita Mamoto.

Baca Juga: Jakarta Fashion Trend 2020: Wignyo Rahadi Sulap Tenun Tapanuli Jadi Koleksi Ready To Wear Bertajuk Sahala

KAWAN dipilih menjadi tajuk untuk peresmian Rumah Kain Pinawetengan dan menggambarkan pertemanan (sejak 2009) antara Denny Malik, yang menggarap kreasi busana siap pakai Kain Pinawetengan, dengan pemilik Rumah Kain Pinawetengan, Iyarita Mamoto.

Selain dikenal sebagai aktor dan model, Denny Malik juga berperan sebagai koreografer ternama di Indonesia.

Kain Pinawetengan (Dok. Tim Muara Bagdja)

Kali ini, ia menantang dirinya untuk merancang busana siap pakai dengan bahan Kain Pinawetengan, setelah sebelumnya kerap merancang kostum untuk pertunjukkan.

Baca Juga: Bergaya Etnik, Andien Tampil Eksotis Dalam Balutan Kain Tenun Khas Nusantara

Koleksi yang didominasi busana wanita ini mengusung gaya 3 generasi yang berbeda, mulai dari yang muda hingga yang dewasa.

Kain Pinawetengan sebagai dress (Dok. Tim Muara Bagdja)

Selain mengolah Kain Pinawetengan sebagai songket, wastra ini juga diolah kembali dalam bahan sifon dan hadir dalam macam-macam fashion items.

Koleksi ini dihadirkan khusus dalam acara peresmian Rumah Kain Pinawetengan pada tanggal 12 Maret 2020, di Humble House, Jl. Wijaya II no. 123, Jakarta Selatan.

Baca Juga: Puspa Nusantara, Seragam Pramugari Garuda Indonesia Bahan Tenun Karya Desainer Didiet Maulana

Di rumah kain Pinawetengan ini pengunjung dapat menikmati beragam kain tenun hasil karya para pengrajin di Wale Tenun Pa’Dior (nama Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara).

Kain Pinawetengan untuk anak muda (Dok. Tim Muara Bagdja)

Beragam pula aneka tenun ikat yang dibuat dengan tangan yang memakan waktu pengerjaan hingga dua bulan (tergantung kesulitan) untuk satu lembar kainnya. Selembar kain memiliki panjang sekitar 2,5 meter hingga empat meter.

Selain itu terdapat pula aneka tenun songket dengan warna-warna lebih mencolok dengan corak-corak khas Minahasa. Setiap lembar berukuran sekitar 2,25 – 2,50 meter.

Baca Juga: Lestarikan Wastra Nusantara, Sogo Departement Store Indonesia dan BHS Memproduksi dan Menjual Sarung Tenun

Harga rata-rata kain tenun ikat, Rp.1 juta per meter. Untuk tenun songket berharga Rp. 3,5 juta per lembar. Sedangkan kain print dihargai antara Rp. 90.000 per meter hingga Rp. 150.000,- per meter. (*)