Meski pun dia membutuhkan uang, dia khawatir bila bekerja selama pandemi akan membahayakan.
"Bahkan jika kita bisa bekerja, nyawa orang-orang beresiko terkena virus. Kita akan takut tidur dengan para pelanggan kita, karena kita tidak tahu siapa yang mengidap," katanya.
Daulatdia duduk di tepi Sungai Padma, dekat terminal feri utama.
Ini adalah pusat transportasi utama yang menghubungkan ibukota Bangladesh, Dhaka dengan distrik selatan negara itu.
Sebelum wabah virus corona merebak, ribuan pengemudi truk akan melewati daerah itu setiap hari, mengirimkan produk pertanian dan barang-barang lainnya ke Dhaka.
Banyak perempuan dan anak-anak yang tinggal di rumah bordil menjadi korban perdagangan manusia.
"Banyak dari mereka yang diculik saat masih anak-anak dan dijual di sana," kata Srabonti Huda, seorang pengacara dan aktivis HAM yang berbasis di Dhaka.
Meskipun pemerintah Bangladesh dan organisasi-organisasi bantuan setempat telah mengirimkan sejumlah dana darurat kepada para perempuan tersebut, Srabonti mengatakan itu tidak cukup dan ada diantaranya yang tidak menerima bantuan sama sekali.
"Jumlah sumbangan yang mereka terima dari pemerintah bahkan tidak mencakup paket susu bubuk untuk anak-anak," katanya.
Pada awal Mei, Srabonti mengatur pengiriman bantuan pribadi, mendistribusikan paket-paket kebutuhan pokok untuk masing-masing 1.300 perempuan yang terdaftar di rumah bordil.
"Ada seorang perempuan yang mengatakan dia tidak bisa mendapatkan insulin atau obat diabetes selama lebih dari sebulan," kata Srabonti.
"Yang lain mengatakan dia belum bisa membeli obat tekanan darah sejak dimulainya lockdown dua bulan lalu."