Stylo Indonesia - Seorang pria yang menekuni pekerjaan profesional di industri kecantikan mungkin dinilai aneh beberapa belas tahun silam. Dipandang miring dan sebelah mata oleh kerabat, sudah biasa dihadapi oleh sosok di balik Ahjussi Beauty, Iman Pulungan, ketika di awal menjajaki karier. Era media sosial yang masih minim dan belum semasif sekarang, membuat kurangnya informasi di masyarakat yang berimbas pada penilaian pekerjaan di industri kecantikan hanya bisa dilakukan oleh kaum hawa.
Iman Pulungan yang pernah terjun berkarier mulai tanpa pengalaman di dunia kecantikan hingga kini telah bekerja di beberapa perusahaan brand kecantikan internasional maupun lokal, akan membagikan kisahnya untuk Stylovers. Tentu pengalaman suka dan dukanya ini merupakan cerita nyata yang bisa menjadi inspirasi dan pengetahuan baru bagi Stylovers yang ingin mengenal pekerjaan di dunia industri.
Yuk, kita simak chit chat bareng Oppa Glowing Iman Pulungan berikut ini.
Dibilang tukang jual bedak
“Pertama kali gue dulu jadi seorang BA (Beauty Advisor), itu gue dilabelin sama orang-orang di kampung gue sebagai tukang jualan bedak. Di kampung gue itu terkenal dengan religius banget, jadi pekerjaan yang berhubungan seperti itu dipandang miring waktu itu. Cuma ya dipikir-pikir lagi, gue merantau memang untuk bekerja buat sukses, jadi ya bodo amat ya, tapi yang kasian mungkin orang tua ya, denger langsung omongan orang di kampung. Gue buktiin selama merantau di Jakarta dengan bekerja dan enggak aneh-aneh ya, jadi harus bisa totalitas dalam hasil pekerjaan,” ungkap Iman Pulungan mengenai penerimaan orang di sekitar terhadap pekerjaan yang dilakukannya.
Setelah menjadi seorang BA, Iman Pulungan kemudian berlanjut merasakan profesi di balik kuas makeup untuk merias wajah sebagai Make Up Artist. “Waktu gue menjadi Make Up Artist di waktu itu, sebagai cowok justru malah diuntungkan. Klien punya preferensi berbeda ketika dia didandanin oleh MUA cowok, ada perasaan trust ke kita. Di sisi ini mungkin gue merasa diuntungkan ya, secara profesi orang menghargai dan percaya ketika bekerja menjadi MUA,” papar Iman Pulungan.
Nah, Stylovers, dalam menghadapi cibiran orang lain mengenai pekerjaannya saat merantau di Jakarta, Iman Pulungan punya trik khusus nih, untuk membungkam omongan orang tentang dirinya. “Jadi, pas gue di Jakarta itu kan biasanya suka ada event-event, nah, itu suka ada produk gratis. Gue kumpulin lah, produk-produk makeup dan skincare itu, ada juga yang gue beli. Nah, gue sogok orang-orang di kampung dengan kirim semua produk kecantikan tadi. Hasilnya, mereka suka dan selalu nanyain lagi produk kecantikan setiap gue pulang kampung. Itu jadi salah satu cara gue mengenalkan seperti apa pekerjaan yang gue lakukan di Jakarta. Dulu kan masih aktif di Facebook ya, nah, setiap gue makeup-in model dan artis, gue post fotonya di facebook, biar orang-orang tahu tentang pekerjaan gue. Kan gue juga pernah kerja sama dengan beberapa artis, seperti Luna Maya, nah, itu pernah di rumah gue di kampung rame orang-orang karena kepo mau dengar cerita gue pas pulang. Jadi gue udah dianggap artis di sana, karena mereka jadi kagum dan respect. Oh iya, setiap pulang kampung juga gue selalu siapin oleh-oleh baik itu makanan, makeup, kosmetik lainnya untuk orang-orang di sana,” kata Iman Pulungan.
Tantangan bekerja sebelum era informasi lebih masif
Bicara soal mendalami ilmu sebagai MUA di era sebelum media sosial cukup masif di Indonesia, Iman Pulungan mengungkapkan bagaimana ia berproses menjadi seorang MUA Profesional. “Kalau dulu, kita sering-sering ke toko buku untuk dapetin berbagai ilmu tentang merias. Jadi harus keluar budget waktu itu untuk bisa eksplor dan kita dipaksa untuk kreatif untuk menciptakan makeup. Ditambah lagi, buku-buku jaman dulu itu kan hanya tulisan ya, kita harus bisa menerjemahkan teori jadi praktiknya dalam merias wajah. Jadi gue harus bisa bereksperimen untuk mengasah kemampuan dalam merias wajah,” kata Iman Pulungan.
Bedanya bekerja di brand kecantikan internasional dan lokal
Pernah berkarier belasan tahun di The Body Shop Indonesia, Iman Pulungan yang pernah menjabat sebagai Brand Manager dari awalnya berkarier sebagai Beauty Advisor ini tentu semakin dipercaya oleh banyak orang. Yap, memiliki karier cemerlang di brand Internasional, tentu kita penasaran ya, Stylovers, kira-kira gimana sih, perbandingan proses bekerja di industri kecantikan lokal versi Iman Pulungan?
“Kalau dulu di brand internasional yang besar, itu sudah punya pakem, guideline, dan sistem yang sudah ada. Kita tinggal ikutin saja semua turunan-turunannya. Pada waktu covid-19, gue sempat off tidak bekerja selama setahun, kemudian aktif lagi di brand lokal start up. Jujur waktu itu stres banget, tapi gue belajar ya. Transisi pengalaman gue di brand internasional yang sudah establish itu enggak bisa diaplikasikan ke start up brand lokal yang baru. Terus kalau dulu di brand besar itu pekerjaan lo sebagai Marketing ya udah sebagai Marketing saja, di start up itu enggak bisa, harus ‘One Man Show’. Apalagi gue juga sebagai Product Developing sekaligus Brand Manager, harus mikirin produk yang akan diluncurkan, campaign, dan lainnya. Jadi di tengah-tengah launching produk, masih mikirin produk berikutnya yang akan dilaunching ini lagi proses formulasi, approval ke gue, tes packaging dan lain-lain, stres banget tapi jujur gue senang belajar hal baru dari sini. Brand lokal juga semakin maju gue bangga, industrinya yang semakin besar kompetisinya juga semakin ketat. Gue ada teman-teman di Kuala Lumpur, Malaysia, itu look up dengan produk skincare lokal Indonesia, senang banget sih,” ungkap Iman Pulungan.
Mengalami depresi di dunia kerja
Perjalanan karier seorang Iman Pulungan mungkin bisa dikatakan sukses ya, Stylovers. Akan tetapi, di balik proses pekerjaan di dunia industri kecantikan yang sangat pesat perkembangannya, pria asal Padang Sidempuan, Tapanuli, Sumatera Utara ini mengaku pernah depresi karena pekerjaan. “Gue pernah depresi di kerjaan, waktu itu sebagai Head Marketing di suatu brand. Start up itu kan macam-macam ya, ada yang sistemnya sudah bagus, ada juga yang mungkin family company. Nah, gue pernah bekerja di family company, pemiliknya suami dan istri serta satu orang lagi. Jadi ada tiga orang pemilik yang menjadi decision maker. Waktu itu gue dicap tidak bisa bekerja, padahal bukan gue yang enggak bisa bekerja, tapi sistem mereka yang aneh. Proses pembuatan produk itu kan sudah ada timeline ya, karena ada tahapan-tahapan produk ini dibuat. Nah, saat proses naming untuk didaftarkan ke BPOM, itu proses internal untuk approvalnya cukup alot, karena tiga pemilik yang tidak kompak dalam mengeluarkan statement approval. Misalnya hari ini sudah tanda tangan, selang besoknya ada sesuatu hal, salah satu ownernya minta perubahan mendadak. Kan, susah ya, kita sudah punya timeline untuk proses launching produk. Banyak tekanan di kantor seperti dibodoh-bodohin dan dimarah-marahin, semua disalahin sampai pada di tahap gue tidak tidur selama 4 minggu. Badan rasanya kaya ngawang ya pas mau ke kantor, tekanan darah rendah. Pas cek fisik di rumah sakit, disarankan oleh perawat gue disuruh ke Psikiater.
Gue ke rumah sakit Carolus, dinyatakan depresi dan diresepkan obat tidur selama 7 hari. Resep itu ternyata enggak mempan, gue masih enggak bisa tidur. Balik lagi ke rumah sakit, diresepin lagi obat yang lebih paten berupa obat tidur dan obat depresi, itu manjur baru bisa tidur. Setelah bisa tidur, ada proses transisi mood dalam proses pengobatan ini, waktu magrib di mana badan gue kerasa kenceng dan sesak teru gue nangis setiap hari tanpa penyebab yang pasti. Pernah juga lagi makan di restoran, padahal itu makanan kesukaan gue, tapi bisa nangis bercucuran air mata. Butuh waktu sekitar 3-4 bulanan untuk fisik dan mental gue bisa healing setelah resign dari kantor tersebut.
Baca Juga: Cosmetic Day 2024, Basic Skincare yang Tepat Menurut Ahjussi Beauty Iman Pulungan
Pernah juga di kurun waktu healing itu, gue coba interview pekerjaan. Waktu lagi nunggu itu, ga sengaja gue dengar suara langkah sepatu itu langsung ketrigger, deg-degan dan muncul rasa panik. Saat itu juga gue ga jadi interview dan izin pulang. Separah itu depresi di dunia pekerjaan. Kalau dulu pernah dengar cerita orang yang depresi saat bekerja, gue kadang masih pikir emang ada ya. Akhirnya gue mengalami hal tersebut, hal yang selama ini enggak gue percaya,” tutur Iman Pulungan soal pengalaman hidupnya di dunia pekerjaan yang berimbas pada kesehatan mental dan fisik.
Impian dan harapan Iman Pulungan
Telah terjun belasan tahun di industri kecantikan, dengan segudang pengalaman dan latar belakang tempat pekerjaan yang beragam, membuat Iman Pulungan memiliki pandangan dan harapannya untuk industri kosmetik di Indonesia.
“Mimpi besar gue itu bikin brand beauty, memang untuk mengarah ke sana ya butuh proses dan persiapan panjang. Hal ini berangkat dari keresahan gue, karena ga dapat dipungkiri sebagian besar orang Indonesia itu masih kepingin kulitnya putih dan besar. Padahal, orang Indonesia itu bukan putih dasarnya. Kenapa sih, harus putih? Kalau mencerahkan oke, tapi mengubah warna pigmen jadi putih yang tadinya cokelat, buat apa? Kenapa enggak merawat kulit supaya jadi sehat, itu saja sudah cukup,” pungkas Iman Pulungan tentang harapannya ke depan di dunia kecantikan.
(*)
StopBeautyShaming merupakan kampanye gerakan nyata dari Stylo Indonesia.
Stylo Indonesia adalah platform media & komunitas organik terlengkap mengenai dunia lifestyle, fashion dan beauty bagi dan seluruh perempuan Indonesia.
KOMENTAR