Bedanya bekerja di brand kecantikan internasional dan lokal
Pernah berkarier belasan tahun di The Body Shop Indonesia, Iman Pulungan yang pernah menjabat sebagai Brand Manager dari awalnya berkarier sebagai Beauty Advisor ini tentu semakin dipercaya oleh banyak orang. Yap, memiliki karier cemerlang di brand Internasional, tentu kita penasaran ya, Stylovers, kira-kira gimana sih, perbandingan proses bekerja di industri kecantikan lokal versi Iman Pulungan?
“Kalau dulu di brand internasional yang besar, itu sudah punya pakem, guideline, dan sistem yang sudah ada. Kita tinggal ikutin saja semua turunan-turunannya. Pada waktu covid-19, gue sempat off tidak bekerja selama setahun, kemudian aktif lagi di brand lokal start up. Jujur waktu itu stres banget, tapi gue belajar ya. Transisi pengalaman gue di brand internasional yang sudah establish itu enggak bisa diaplikasikan ke start up brand lokal yang baru. Terus kalau dulu di brand besar itu pekerjaan lo sebagai Marketing ya udah sebagai Marketing saja, di start up itu enggak bisa, harus ‘One Man Show’. Apalagi gue juga sebagai Product Developing sekaligus Brand Manager, harus mikirin produk yang akan diluncurkan, campaign, dan lainnya. Jadi di tengah-tengah launching produk, masih mikirin produk berikutnya yang akan dilaunching ini lagi proses formulasi, approval ke gue, tes packaging dan lain-lain, stres banget tapi jujur gue senang belajar hal baru dari sini. Brand lokal juga semakin maju gue bangga, industrinya yang semakin besar kompetisinya juga semakin ketat. Gue ada teman-teman di Kuala Lumpur, Malaysia, itu look up dengan produk skincare lokal Indonesia, senang banget sih,” ungkap Iman Pulungan.
Mengalami depresi di dunia kerja
Perjalanan karier seorang Iman Pulungan mungkin bisa dikatakan sukses ya, Stylovers. Akan tetapi, di balik proses pekerjaan di dunia industri kecantikan yang sangat pesat perkembangannya, pria asal Padang Sidempuan, Tapanuli, Sumatera Utara ini mengaku pernah depresi karena pekerjaan. “Gue pernah depresi di kerjaan, waktu itu sebagai Head Marketing di suatu brand. Start up itu kan macam-macam ya, ada yang sistemnya sudah bagus, ada juga yang mungkin family company. Nah, gue pernah bekerja di family company, pemiliknya suami dan istri serta satu orang lagi. Jadi ada tiga orang pemilik yang menjadi decision maker. Waktu itu gue dicap tidak bisa bekerja, padahal bukan gue yang enggak bisa bekerja, tapi sistem mereka yang aneh. Proses pembuatan produk itu kan sudah ada timeline ya, karena ada tahapan-tahapan produk ini dibuat. Nah, saat proses naming untuk didaftarkan ke BPOM, itu proses internal untuk approvalnya cukup alot, karena tiga pemilik yang tidak kompak dalam mengeluarkan statement approval. Misalnya hari ini sudah tanda tangan, selang besoknya ada sesuatu hal, salah satu ownernya minta perubahan mendadak. Kan, susah ya, kita sudah punya timeline untuk proses launching produk. Banyak tekanan di kantor seperti dibodoh-bodohin dan dimarah-marahin, semua disalahin sampai pada di tahap gue tidak tidur selama 4 minggu. Badan rasanya kaya ngawang ya pas mau ke kantor, tekanan darah rendah. Pas cek fisik di rumah sakit, disarankan oleh perawat gue disuruh ke Psikiater.
Gue ke rumah sakit Carolus, dinyatakan depresi dan diresepkan obat tidur selama 7 hari. Resep itu ternyata enggak mempan, gue masih enggak bisa tidur. Balik lagi ke rumah sakit, diresepin lagi obat yang lebih paten berupa obat tidur dan obat depresi, itu manjur baru bisa tidur. Setelah bisa tidur, ada proses transisi mood dalam proses pengobatan ini, waktu magrib di mana badan gue kerasa kenceng dan sesak teru gue nangis setiap hari tanpa penyebab yang pasti. Pernah juga lagi makan di restoran, padahal itu makanan kesukaan gue, tapi bisa nangis bercucuran air mata. Butuh waktu sekitar 3-4 bulanan untuk fisik dan mental gue bisa healing setelah resign dari kantor tersebut.
Baca Juga: Cosmetic Day 2024, Basic Skincare yang Tepat Menurut Ahjussi Beauty Iman Pulungan
Pernah juga di kurun waktu healing itu, gue coba interview pekerjaan. Waktu lagi nunggu itu, ga sengaja gue dengar suara langkah sepatu itu langsung ketrigger, deg-degan dan muncul rasa panik. Saat itu juga gue ga jadi interview dan izin pulang. Separah itu depresi di dunia pekerjaan. Kalau dulu pernah dengar cerita orang yang depresi saat bekerja, gue kadang masih pikir emang ada ya. Akhirnya gue mengalami hal tersebut, hal yang selama ini enggak gue percaya,” tutur Iman Pulungan soal pengalaman hidupnya di dunia pekerjaan yang berimbas pada kesehatan mental dan fisik.
Impian dan harapan Iman Pulungan
Telah terjun belasan tahun di industri kecantikan, dengan segudang pengalaman dan latar belakang tempat pekerjaan yang beragam, membuat Iman Pulungan memiliki pandangan dan harapannya untuk industri kosmetik di Indonesia.
“Mimpi besar gue itu bikin brand beauty, memang untuk mengarah ke sana ya butuh proses dan persiapan panjang. Hal ini berangkat dari keresahan gue, karena ga dapat dipungkiri sebagian besar orang Indonesia itu masih kepingin kulitnya putih dan besar. Padahal, orang Indonesia itu bukan putih dasarnya. Kenapa sih, harus putih? Kalau mencerahkan oke, tapi mengubah warna pigmen jadi putih yang tadinya cokelat, buat apa? Kenapa enggak merawat kulit supaya jadi sehat, itu saja sudah cukup,” pungkas Iman Pulungan tentang harapannya ke depan di dunia kecantikan.
(*)