Perkembangan Industri Fashion Plus Size, Market yang Luas Namun Kerap Dipandang Sebelah Mata

By Cerysa Nur Insani, Rabu, 21 Oktober 2020 | 14:20 WIB
Perkembangan Industri Fashion Plus-Size, Market yang Luas Namun Kerap Dipandang Sebelah Mata (www.dia.com)

Stylo Indonesia - Berbanding terbalik dengan standar kecantikan yang selama ini dianggap ideal, sebagian besar perempuan justru memiliki bentuk tubuh yang tidak termasuk dalam kategori kurus atau langsing.

Tubuh perempuan begitu beragam, dan tidak bisa dibagi hanya menjadi kurus atau gemuk.

Bentuk tubuh perempuan juga sangat dipengaruhi oleh lingkar dada, lingkar pinggang, lingkar pinggul, hingga lingkar lengan yang bervariasi karena lekuk tubuh mereka.

Hal ini membuat kebutuhan akan busana plus-size sangat tinggi, tetapi nyatanya, busana berukuran plus-size masih sulit ditemukan.

Terutama pada toko-toko retail brand pakaian ternama yang tampaknya masih hanya memenuhi kebutuhan perempuan bertubuh kurus atau langsing.

Dilansir dari Teen Vogue, inilah kenyataan mengenai perkembangan fashion plus-size, sebuah market yang luas tetapi kerap dipandang sebelah mata oleh industri fashion.

Akses terhadap pakaian dengan ukuran yang pas menjadi masalah bagi banyak perempuan.

Baca Juga: Patahkan Stigma Masyarakat, Ririe Bogar Hadirkan Koleksi Busana Plus Size Bertajuk Komentar Fisik Gak Asik

Pakaian berukuran plus jauh lebih sedikit tersedia di toko ritel, bahkan online, dibandingkan pakaian berukuran XS hingga Medium.

Gaya atau model yang bisa dipilih pun jauh lebih sedikit dan terbatas.

Namun, pada akhirnya kebanyakan perempuan dengan ukuran tubuh plus size terpaksa memilih untuk puas dengan pilihan yang ada daripada membuang waktu berbelanja di toko yang membuat mereka merasa diabaikan atau dipermalukan.

Mengapa suplai terhadap pakaian plus size sangat rendah?

Satu petunjuk utamanya adalah para desainer muda tidak pernah dilatih untuk mendesain untuk orang lain selain model yang ukuran tubuhnya paling kecil.

Pada tahun 2016, Parsons School of Design, salah satu sekolah desain terbaik di Amerika Serikat hanya memiliki satu manekin ukuran plus untuk 1.000 siswa.

Dalam petisi sekolah, salah satu siswa bernama Nayara Choo berpendapat bahwa sekolah harus menepati janjinya untuk menampung para desainer masa depan dan mengadopsi ide-ide progresif sebagai moto mereka.

“Memasang lebih banyak manekin berukuran plus size di ruang kelas kami akan membuka banyak pintu bagi desainer baru yang percaya pada ukuran lebih tinggi dari 8, yang sebenarnya sangat kecil,” ungkap Nayara Choo.

Kurangnya pelatihan ini menyebabkan adanya bias terhadap perempuan berukuran plus size yang didorong oleh bisnis fashion selama lebih dari satu abad.

Rumah mode ternama ditambah dengan kekuatan media terus mendikte seperti apa bentuk tubuh yang ideal.

Meski nyatanya, bentuk tubuh yang disebut ideal tersebut bukanlah bentuk tubuh yang banyak kita temui dalam masyarakat.

Industri fashion mencapai eksklusivitas dengan mengangkat tipe tubuh paling langka sebagai yang ideal.

Baca Juga: Jakarta Fashion Trend 2020: Brand Wah Gede Banget Hadirkan Busana Plus Size yang Sukses Curi Perhatian di Panggung Fashion Show

Eksklusivitas itu sendiri mulai dilihat sebagai gaya kuno dan ketinggalan zaman.

Dunia fashion perlahan-lahan mengikuti mode baru dan merangkul kenyataan. Inklusivitas ternyata memiliki nilai jual.

Kita sekarang dapat melihat model ukuran plus di sampul majalah fashion dan di atas runway.

Koleksi Spring 2017 Christian Siriano ditampilkan oleh model plus size di New York Fashion Week. (www.today.com)

Perempuan didorong untuk merangkul tubuh mereka, mendefinisikan kembali arti kecantikan dan berbicara menentang kritikus yang mempermalukan bentuk tubuh plus size.

Internet telah membuat brand fashion tidak mungkin mengabaikan perempuan berukuran plus.

Internet memberikan visibilitas yang jauh lebih besar dan suara yang lebih nyaring untuk semua orang.

Banyaknya blogger berukuran plus size dan YouTuber menjadi pemberi pengaruh yang sangat positif dengan jutaan pengikut.

Kepositifan tubuh populer dengan bantuan para aktivis dan selebriti plus size.

Sementara pakaian plus size awalnya diciptakan untuk menutupi lekuk tubuh, perempuan berukuran plus sekarang berani memamerkan tubuh mereka.

Meski begitu,  pakaian berukuran plus masih memiliki masalah di toko ritel pakaian.

Ukuran plus sering distigmatisasi di bagiannya sendiri, yang diletakkan di sudut dan tempat yang tidak terlihat.

Praktik ini dimulai pada awal 1900-an ketika banyak brand memutuskan untuk meletakkan pakaian plus size di bagiannya sendiri yang dilayani oleh penjaga toko perempuan plus size dengan gagasan bahwa itu akan membuat pembeli merasa nyaman.

Baca Juga: Ashley Graham Dobrak Standar Kecantikan dengan Menjadi Model Plus Size

Hal ini justru membeda-bedakan perempuan berdasarkan ukuran mereka dan memperlakukan mereka sebagai orang lain meskipun mereka adalah mayoritas populasi.

Berbelanja pakaian secara online akhirnya menjadi alternatif yang dilakukan oleh para perempuan plus size karena lebih banyaknya pilihan yang tersedia.

Secara online, kini ada banyak situs yang menyediakan pakaian ukuran plus.

Kemudahan berdagang via e-commerce telah mendorong banyaknya brand-brand fashion kecil yang sedang merintis untuk merebut pasar perempuan bertubuh plus size.

Alangkah baiknya jika setiap orang memiliki pakaian yang membuat mereka merasa percaya diri, bukan?

Nah, itu dia Stylovers perkembangan industri fashion plus-size dengan market yang luas namun kerap dipandang sebelah mata. Bagaimana menurutmu? (*)

#SemuaBisaCantik