Stylo Indonesia - Pernahkah Stylovers, mengalami rasa nyeri pada bagian pinggang, leher hingga punggung?Nampaknya rasa nyeri tersebut kebanyakan dialami oleh para buda korporat alias karyawan yang menghabiskan waktu lama duduk di depan komputer.Banyaknya pekerjaan memaksa sebagian orang untuk duduk lebih dari sepertiga hari di depan layar laptop, komputer bahkan ponsel.Selanjutnya, sebagian waktu lainnya habis digunakan untuk menempuh jalan pergi dan pulang ke kantor.Hal inilah yang membuat sebagian besar karyawan pernah merasakan nyeri pada bagian tubuh yang juga disebut Cervical Cyndrom.Penyebab cervical syndrome sendiri adalah perubahan degeneratif atau penuaan yang banyak dialami usia 40 tahun ke atas. Namun, kenyataannya, kini cervical syndrome banyak diidap usia produktif mulai dari 20-30 tahun. Seperti temuan yang didapati oleh dokter spesialis neurologi dr. Zicky Yombana Sp. S saat WFH kala pandemi. Sayangnya, banyak orang salah kaprah dan keburu menaruh stigma yang salah pada kasus cervical syndrome dan muncul banyak mitos mengenai hal tersebut.Biar enggak salah kaprah, coba simak 5 mitos dan fakta soal cervical syndrom ini yuk, Stylovers:1. Cervical Syndrome Vs Kolesterol, Asam Urat, dan Angin Cervical syndrome adalah kumpulan gejala akibat gangguan di leher.
Baca Juga: Ketiak Bengkak dan Nyeri Tanda Penyakit Apa? Simak Penjelasannya!
Kumpulan gejalanya meliputi sakit kepala, nyeri belikat, pegal-pegal di tangan yang menjalar, kesemutan, dada tidak nyaman, sampai oleng. “Tapi di masyarakat dibilangnya kolesterol, karena rasa nyeri, keras, dan kaku pada area belakang leher. Banyak yang bilang juga itu asam urat dan akibat angin. Padahal enggak ada hubungannya sama semua itu,” ujar dr. Zicky, saat diwawancarai di Neuro Care by Klinik Pintar, Petogogan, Jakarta Selatan.2. Cervical Syndrome Hanya Menyerang Usia TuaPenyebab cervical syndrome terjadi karena proses aging. Di mana jika suatu organ dipakai dan dibebani terus-menerus, lama-lama menjadi haus. Namun, dr. Zicky menemukan bahwa kasus gangguan di leher tersebut banyak dialami oleh usia 20-30 tahun, terutama saat WFH. “Usia 20-30 tahun itu biasanya ada di jajaran staf yang harus standby online dan offline. Nah, kalau WFH yang penting oncam tapi posisi kerja tengkurap atau gelosor enggak ergonomis. Makanya penyebab cervical syndrome ini cuma dua. Posisi duduk dan kebiasaan,” lanjut dr Zicky. Menurut dr. Zicky, kita tak perlu stretching setiap 30 menit sekali, jika posisi duduk benar. Yaitu pinggang menempel pada bagian belakang tempat duduk atau kursi, jangan ada celah. Sementara itu, hindari postur kerja yang keliru dan jadi kebiasaan seperti bungkuk dan menunduk.“Jadi menunduk itu bisa membebani leher setara 27 kg. Anak SMA juga banyak yang kena karena hobi main game online, lebih muda lagi, kan usianya dari 20-30 tahun,” sambungannya. 3. Akumulasi MenahunSelain posisi dan postur duduk serta kebiasaan menunduk lama, ada sederet penyebab cervical syndrome lainnya. Seperti orang yang suka mengkretek leher, membawa tas selempang, pakai bantal tinggi atau bantal keras, pakai high heels, dan orang yang jarang olahraga. Tak perlu menunggu akumulasi menahun untuk terkena cervical syndrome jika kita banyak melakukan kebiasaan di atas.“Yang disebut akumulatif juga beda-beda tergantung kebiasaan dan kelenturan otot dan olahraganya. Bahkan seminggu bisa kena, karena kebiasaan di tempat kerja banyak nunduk, makan siang dipakai check out belanja online, pakai hak tinggi, tas dicantel bawa perabotan lenong, di rumah tidur pakai bantal tinggi, nah, akan semakin komplit akan semakin cepat mengalami cervical syndrome,” beber dr. Zicky.4. Masyarakat permisif dengan sakit yang disebut ‘enteng’Seringnya, kita jadi masyarakat yang terlalu permisif dan ujungnya ‘ngentengin’ penyakit. Apalagi dengan gejala yang awalnya ringan dan biasa dialami sehari-hari.“Tapi, kalau sakit kepalanya berulang, nyeri belikat berulang, pegal-pegal, dan tangan pegal kesemutan nggak jelas penyebabnya, buru-buru, deh, dicek,” saran dr. Zicky. Untuk semakin menjangkau dan memudahkan kita memeriksa saraf, kini telah hadir Neuro Care by Klinik Pintar, klinik spesialis saraf yang memiliki 13 dokter spesialis saraf serta peralatan canggih yang lengkap.
“Untuk kasus ‘remaja jompo’, ada pemeriksaan EMG atau elektromiografi. Alat ini untuk melihat seberapa jauh gangguannya, apakah di tulang belakangnya kah? Sampai sarafnya, kabelnya, atau ototnya. Setelah itu baru menentukan terapi yang tepat, jadi enggak serabutan, tapi segmented,” paparnya lagi. 5. Pengobatan Berkali-Kali Setelah mendapatkan hasil diagnosis, mendapatkan jenis terapi yang tepat akan meminimalisir durasi minum obat sampai bolak-balik klinik atau rumah sakit.Pilihan untuk terapi gangguan leher pun beragam. Dari obat-obatan saja, obat dan fisioterapi, memakai penyangga leher sementara, injeksi di area leher jika diperlukan, penyuntikan botoks, sampai Transcranial Magnetik Stimulation atau TMS untuk merangsang saraf. “Misalnya untuk kasus cervical syndrome mau pakai terapi suntik. Suntik anti inflamasi atau anti peradangan ini berfungsi untuk melemaskan otot. Suntik di sini bukan kayak stigma beranggapan akan bolak-balik, justru berharap selesai dan jangan balik lagi (ke klinik),” jelas dr. Zicky.
(*)