Srikandi untuk Negeri, Tekad Besar Iyarita Wiriawaty Mawardi Lestarikan Kain Pinawetengan

By Dinda Tiara Alfianti, Rabu, 24 Mei 2023 | 14:33 WIB
Iyarita Wiriawaty Mawardi, CEO Pengrajin Kain Pinawetengan (Dinda Stylo)

Stylo Indonesia - Begitu banyak wastra nusantara yang wajib untuk dilestarikan.Termasuk juga kain Pinawetengan, wastra nusantara yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.Kecintaannya akan kebudayaan Minahasa membuat Iyarita Wiriawaty Mawardi bertekad untuk melestarikan kain Pinawetengan tersebut.

Kain Pinawetengan (Dinda Stylo)
Seperti apa perjalannya untuk melestarikan wastra nusantara tersebut?Coba simak wawancara khusus Stylo Indonesia UKM Heritage berikut yuk, Stylovers!Kenapa Memilih untuk Melestarikan Kain Pinawetengan?"Ini berkaitan dengan si bapak (sang suami). Kalau saya pribadi, saya tidak ada kaitannya dengan Minahasa sama sekali. Ibu saya orang Singapura bapak saya orang Surabaya. Tetapi karena si bapak ada unsur sentimentil dengan Minahasa ini, karena orang tuanya berasal dari Minahasa dan zaman dulu tidak sempat untuk berbuat banyak di sini. Kemudian bapak terpanggil untuk mengangkat kebudayaan yang ada di Sulawesi Utara," ungkap perempuan yang juga jadi CEO Pengrajin Kain Pinawetengan tersebut.Sejak Kapan Mulai Melestarikan Kain Pinawetengan?"Kalau untuk kain ini kita memulai sejak tahun 2007. Di tahun 2007 kami datang ke sini dan memulai untuk mengambil motif tersebut dan kami membuatnya dengan cara print dulu, jadi bukan dengan tenun songket atau tenun ikat," katanya.

Baca Juga: Mengulik Kebudayaan Sulawesi Utara di Pa'Dior, Ada Museum Anti Narkoba dan Burung Hantu!

 

Inspirasi Motif dan Warna Kain Pinawetengan?"Kalau untuk motif sendiri kami ambil dari kebudayaan atau dari motif yang dulu dasarnya menjadi nenek moyang Minahasa sendiri," kata Rita.Rita menjelaskan bahwa setiap motif kain Pinawetengan kebanyakan berasal dari guratan yang ada di Watu Pinawetengan."Jadi, selain kita ambil dari guratan-guratan Watu Pinawetengan, kita juga ambil dari tembega, itu perhiasan dari zaman dulu nenek moyang dan motif patola atau motif ular yang kita adopt dari India," katanya.Tak hanya itu, Rita juga memberi kebebasan untuk para pengrajin kain Pinawetengan dalam menciptakan setiap motif pada wastra nusantara tesebut."Kalau untuk tenun ikat saya membiarkan pengrajin untuk berkreasi sendiri, karena memang kami visinya dari Minahasa untuk Minahasa. Jadi mereka berkreasi sendiri boleh motif apa saja," tutur Rita.Namun, untuk desain tenun songket, Rita tetap memberi arahan para pengrajin dalam membuat motif dan memilih warna yang tepat."Kalau tenun songket itu masih kita arahkan, jadi motifnya dari turunan motif tembega bisa tembeganya ditebar-tebar, atau nanti bisa dicampur dengan motif patola," jelas Rita.Bagaimana Teknik Pembuatan Kain Pinawetengan?

Proses pembuatan kain Pinawetengan (Dinda Stylo)
"Pembuatannya masih sangat tradisional, jadi semuanya pewarnaan, pembidangan itu semua masih tradisional dan menggunakan tangan bukan mesin," katanya.Rita juga menjelaskan bagaimana proses pembuatan kain Pinawetengan tersebut."Kalau untuk tenun itu dari pembidangan bisa dua minggu, kemudian memasang benang di mesin tersebut itu bisa antara 2-3 hari terganntung si pengrajin. Kemudian, untuk mengerjakannya satu kain itu bisa 3-4 hari," katanya.Produksi Kain Terpanjang Sampai Dapat Guiness World Record

Kain Pinawetengan terpanjang dapat Guiness World Record (Dinda Stylo)
Demi membuat kain Pinawetengan semakin dilirik, berbagai upaya dilakukan oleh Rita.Salah satunya membuat kain Pinawetengan terpanjang dan mendapat penghargaan Guiness World Record."Jadi ini berkesinambungan dengan Guiness World Record yang didapatkan suami saya. Jadi waktu itu dia bilang sama saya kalau ingin membuat kain tenun terpanjang tanpa sambungan," tuturnya.Dan, akhirnya Rita bersama penenun dan masyarakat setempat memproduksi kain terpanjang tersebut."Jadi, kita mendapatkan rekor kain 101 meter pengerjaan tanpa sambungan," kata Rita. Galeri Kain PinawetenganSebagai tempat untuk memasarkan kain tenun yang telah diproduksi, Rita juga membangun Galeri Kain Pinawetengan di Pa'Dior, Sulawesi Utara."Galeri kain ini yang ada di Sulawesi Utara ini dari tahun 2008," ungkap Rita.Sederet hasil produksi kain Pinawetengan kemudian dipamerkan di Galeri Kain Pinawetengan tersebut."Di sini kita menghadirkan kain print, terus kain ikat, kemudian kain tenun songketnya, ada juga beberapa pakaian jadi," tuturnya. Upaya untuk Membuat Kain Pinawetengan Dilirik"Yang pertama-tama saya banyak mengenalkan kain Pinawetengan ke para pencinta kain, kemudian juga dari media sosial," kata Rita.Agar semakin dilirik anak muda, Rita juga berencana akan membuat busana ready to wear yang dibuat dengan kain Pinawetengan."Ke depannya kita akan membuat ready to wear menggunakan kain Pinawetengan," jelas Rita.Kain Pinawetengan di Pasar InternasionalTak hanya di Indonesia, Rita juga melakukan banyak cara untuk membuat kain Pinawetengan mendunia.Termasuk juga mengikuti beberapa fashion show di luar negeri digandeng dengan sosok fashion kenamaan."Kami pernah show dengan ibu Jero Wacik di Jepang. Kemudian dengan mas Denny Malik, kami pernah show di Belanda," tutur Rita.Meski begitu, Rita juga mengakui bahwa dirinya masih belum puas karena belum melakukan fashion show tunggal di luar negeri."Itu belum fashion show tunggal hanya ikut dengan mereka kan. Saya ingin memperbaiki jumlah dan kualitas produksi saya dulu baru saya berani untuk melakukan show tunggal di luar," jelas Rita.Peminat Kain PinawetenganSampai saat ini, kain Pinawetengan masih terus dipamerkan oleh Rita dengan caranya."Peminatnya justru lebih banyak di Jakarta daripada di Minahasa sendiri," katanya."Untuk kain print itu jujur suka dipesan untuk seragam sekolah di daerah sekitar Minahasa. Kalau songket lebih kepribadian, tapi kalau yang ikat pernah juga dipesan untuk instansi seperti untuk seragam Bank BRI misalnya," jelasnya.Jatuh Bangun Melestarikan Kain PinawetenganBertahun-tahun melestarikan wastra nusantara, Rita mengaku banyak sekali rintangan yang harus dilalui olehnya.Termasuk juga jumlah penenun yang semakin hari malah semakin berkurang dan membuat produksi jadi kurang maksimal."Ini rada sedih juga karena awalnya saya cuma punya 16 pengrajin yang benar-benar membantu saya untuk melestarikan tenun-tenun yang ada di sini dan sekarang ini penenun kami hanya tinggal 7 orang," jelas perempuan yang akrab disapa Rita tersebut.Rita juga menjelaskan bagaimana sulitnya untuk menemukan pengrajin yang benar-benar serius untuk sama-sama melestarikan kain Pinawetengan."Kesulitan yang terbesar di sini sebenarnya adalah faktor regenerasi. Jadi penenun yang tidak bisa dipungkiri faktor usia dan kadang-kadang faktor mata, terus juga kadang-kadang pembidangan itu sulit. Jadi kita mau regenerasi sebenarnya, tapi banyak sekali kita bekerjasama dengan SMK di sini," tutur Rita.Namun, harapan Rita kandas karena penolakan dari banyak pemuda yang lebih memilih kerja di kota ketimbang jadi pengrajin kain Pinawetengan."Terus begitu mereka sudah bisa sedikit untuk pembidangan, kami menawarkan untuk bekerja di sini tetapi mereka lebih tertarik untuk kerja di kota," katanya.Bahkan, hingga saat ini Rita juga masih belum mendapat bantuan langsung dari Pemerintah setempat untuk mendukungnya dalam melestarikan kain Pinawetengan tersebut. (*)